Kapankah saat yang tepat menumbuhkan rasa suka pada pasangan? Sebelum
atau sesudah aqad nikah? Ada yang berpendapat, minimal dua minggu
sebelum waktu aqad, sudah mulai ada usaha untuk menimbulkan rasa itu,
agar saat malam zafaf (malam diboyongnya istri ke rumah suami, tapi
kadang disederhanakan sebagai malam pertama) tidak ada kekakuan lagi.
Mengapa? Karena ada juga sampai ada muslimah yang merasa -maaf-
diperkosa oleh suaminya sendiri (mungkin karena merasa kesakitan dan
cara jima’ suami yang agak kasar), juga belum adanya rasa cinta akhwat
tersebut pada pasangan.
Hakikatnya, yang dibutuhkan oleh calon pasangan setelah khitbah
(lamaran) tapi belum menikah bukanlah cinta/sayang, tapi kesiapan dan
kelapangan hati. Dalam arti, siap menerima pasangan apa adanya, tidak
ada keraguan lagi terhadap calon pasangan baik secara fikriyah, jasadi,
akhlak, dan lain-lain. Dengan adanya kelapangan hati dan kesiapan mental
dari keduanya, Insya Allah bayangan-bayangan buruk tentang malam zafaf
tidak akan terjadi. Masing-masing berusaha untuk memuliakan pasangannya,
tidak akan saling menyakiti. Dengan itu pula, cinta akan hadir dan
terus bersemi sejak aqad diucapkan.
Bagaimana jika setelah menikah pun belum muncul rasa cinta? Tidak
mengapa. Hal ini wajar terjadi pada sepasang pengantin yang memang
bertemu karena perjodohan. Tetapi yakinlah, bahwa cinta itu akan tumbuh
perlahan, selama kita berhusnudzan pada Allah. Pasrahkan hati kita pada
Sang Pemilik hati, agar Dia berkenan menumbuhkan rasa itu. Banyak
berdoa, dan juga berusaha agar tumbuh rasa cinta yang menentramkan.
Cinta bukan sesuatu yang pasif, tapi justru aktif. Stephen Covey dalam
Seven Habit-nya mengatakan, cinta itu kata kerja, bukan kata sifat. Jadi
bukan seperti film India, yang menyikapi cinta seolah menungu wangsit.
Menganggap cinta itu ’given’ semata. Tidak mau menikah kalau
tidak dengan pasangan yang digandrunginya, hingga sampai merebutnya
meskipun sudah menjadi istri orang. Hmm, padahal, cinta di bawah
naungan-Nya, jauh lebih indah.
Bagaimana jika sudah timbul rasa suka/cinta sebelum aqad? Tidak mengapa
juga, karena ketertarikan dan kedekatan itulah landasan dan motivasi
seseorang memilih pasangan hidup dan bermaksud menikahinya. Hal yang
perlu dijaga adalah rasa cinta itu ada dalam batas kewajaran, tidak
sampai ’mabuk kepayang’, mengganggu konsentrasi. Ini bisa
diimbangi dengan tetap mendekatkan diri pada Allah dan minta
perlindungan-Nya, untuk menjaga diri dan hati kita agar cinta yang sudah
ada tersebut tetap dijaga kesuciannya, tidak terkotori berbagai
’imajinasi’ yang dapat mengotori hati.
Hal lain yang perlu diingatkan adalah, meskipun sudah khitbah (dan
mungkin sudah ada benih-benih cinta), tidak perlu diungkapkan secara
verbal/non verbal pada calon istri/suami, cukup disimpan dalam hati
masing-masing saja.
Banyak kasus yang saya temukan dalam masalah ini, dimana komunikasi
antar calon pasangan yang niat awalnya hanya berkoordinasi untuk urusan
menikah, kebablasan menjurus ke hal-hal yang bersifat pribadi,
bahkan sampai mengungkapkan rasa sayang, kangen, kuatir, hingga rayuan
maut yang tak terkendali layaknya anak muda biasa pacaran. Sebagai orang
yang sudah terbina dan mengerti agama, selayaknya hal seperti ini
benar-benar dipahami. Harus ada beda (furqan) antara mereka yang sudah ngaji dengan yang belum ngaji.
Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang sedemikian rupa saat
ini seperti HP dan internet, peluang untuk mengungkapkan hal seperti itu
melalui media menjadi terbuka lebar. Mungkin seseorang yang sudah
mengaji, akan berpikir ulang untuk mengungkapkan rasa hatinya secara
langsung saat bertatap muka atau melalui telepon rumah, karena malu
didengar banyak orang dan butuh ’nyali’ yang besar. Tapi dengan adanya
HP (sms), email, YM, atau BBM yang bersifat lebih pribadi, kadang ada
juga calon pasangan yang ’tergoda’. Bukan bermaksud memojokkan, dalam
hal ini, saya lihat justru dari pihak lelakilah yang sering kurang bisa
menahan diri. Mungkin karena memang begitulah laki-laki diciptakan, jika
menyangkut kecenderungan hati pada perempuan, apalagi perempuan
tersebut sudah dia pinang (artinya sudah menerima dia sepenuh hati).
Laki-laki akan cenderung tidak bisa ’menahan perasaan’nya. Oleh karena
itu, perlu saling mengingatkan, saling taushiyah.
Menghadapi lelaki model begitu (biarpun kita juga tahu dia sudah mengaji
cukup lama), diharapkan muslimahnya yang bisa bersikap lebih tegas
dalam hal begini. Jika mulai ada tanda-tanda ’aneh’ dari calon suaminya,
lebih baik terkesan galak dan jutek dari pada terjerumus ke hal-hal
yang begini (nanti romantismenya setelah aqad saja lah).
Atau untuk lebih amannya, sejak awal selalu melibatkan orang ketiga
dalam koordinasi tersebut. Misalnya minta kakak kandung, guru ngaji,
atau teman ngaji yang dipercaya dalam setiap komunikasi. Jika saling
ber-sms atau email orang-orang tersebut diforward atau melalui mereka
dulu sebagai perantara (tidak langsung). Atau jika dengan YM dan BBM ya
dibuat dalam conference. Bentuk-bentuk preventif semacam ini sangat
penting, karena ternyata, meskipun sudah mendapatkan materi ma’rifatullah dan ma’iyatullah
di awal tarbiyah, tetap saja membutuhkan ’polisi pengawas’ yang akan
membuat calon pasangan berpikir ulang untuk bersikap ’aneh-aneh’.
Satu hal lagi yang perlu diingat untuk calon pasangan, bahwa keberkahan
pasca menikah nanti, erat kaitannya dengan kebersihan proses pernikahan
itu sendiri sejak awalnya. Karena pernikahan dalam Islam tetap bagian
dari ibadah, dan sesuatu baru bernilai ibadah jika sudah mengunakan
cara-Nya. Jika Allah suka, maka keberkahan-Nya akan turun menyemai
pernikahan kita. Itulah sebabnya doa bagi sepasang pengantin yang
disunnahkan adalah Barokallahu lakuma wabaaroka alaika…, bukan doa semoga cepat mendapatkan momongan, semoga langgeng sampai kakek nenek, dan sebagainya.
Tapi, bagaimana mungkin Allah akan memberikan keberkahan berlimpah, jika
kita sendiri melakukan hal-hal yang membuat Allah tak suka? Jadi,
jangan kotori atau membuat pernikahan kita sendiri tidak berkah, hanya
karena kita tidak pandai mengelola rasa. Ketakmampuan kita dalam
mengelola rasa yang mengotori proses menjekang pernikahan, itu ibarat
menggali lubang untuk kuburan kita sendiri.
Lalu apa batasannya antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan sambil
menunggu aqad nikah? Batasan komunikasi antara calon pasangan setelah
khitbah dikembalikan pada hati nurani masing-masing. Kira-kira ini
memalukan tidak, keluar dari adab atau tidak. Namun yang perlu diingat
adalah, Allah lebih berhak untuk mendapatkan rasa malu itu dari
hamba-Nya. Rasa malu pada manusia sangat relatif, lagi pula manusia
punya pengetahuan yang terbatas tentang apa yang dilakukan manusia
lainnya. Tetapi, Allahu ’alimul ghoibi was syahadah! Allah Maha
Mengetahui apa yang tampak dan apa yang disembunyikan oleh hati. Di
mana kita akan bersembunyi dari Allah, saat perbuatan-perbuatan yang
kurang terpuji itu saat itu juga langsung diketahui Allah? Kasarnya, jika sudah sulit mengendalikan hasrat hati, ingat-ingatlah hadits: jika kamu sudah tidak punya malu, berbuatlah sesukamu..
sumber : DISINI
0 komentar :
:kj: copy kode icon diatas jika menggunakan icon regards multazam :kl:
Post a Comment